HUBUNGAN ANTARA
GOLONGAN DARAH DENGAN RETARDASI MENTAL PADA SISWA
DI SLB NEGERI
BATANG
Proposal Skripsi
Oleh :
FAJAR WIDHI
ATMOJO
NIM : 092111146
PROGRAM STUDI S1
KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU
KEPERAWATAN
UNIVERSITAS
ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan tentang genetika molekuler
di bidang kedokteran berkembang pesat sejak tahun 1978. Hal yang dapat
dipelajari dalam ilmu Genetika adalah sifat-sifat kromosom, kelainan kromosom
dan tentang pewarisan penyakit-penyakit yang dapat diturunkan melalui sifat
genetiknya (Elvita dkk, 2008). Salah satu gangguan yang kemungkinan disebebkan
oleh gangguan genetik atau kelainan genetik adalah retardasi mental (Armatas,
2009). Retardasi mental adalah salah satu gangguan yang kemungkinan disebabkan
oleh kelainan genetik yang dipelajari dalam ilmu genetika molekuler.
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis
Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa
yang terhenti ataupun tidak lengkap yang ditandai dengan tidak lengkapnya masa
perkembangan yang berpengaruh pada kecerdasan secara menyeluruh. Retardasi
mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa ataupun gangguan fisik
lainnya kerena retardasi mental bukanlah merupakan suatu penyakit (Salmiah,
2010). Dapat disimpulkan, bahwa retardasi mental merupakan keadaan terhambatnya
perkembangan jiwa individu yang berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara
menyeluruh.
Hasil studi Bank Dunia dalam Benny dkk
(2014) menunjukkan bahwa jumlah masalah kesehatan mental di dunia mencapai 8,1%
dari jumlah keseluruhan penduduk dunia. Data Pusat Statistik (BPS) tahun 2006
menunjukkan bahwa dari jumlah 222 juta penduduk Indonesia, terdapat 2,8 juta
jiwa atau 0,7% adalah penyandang cacat. Data penyandang cacat yang diperoleh dari
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kesejahteraan Sosial (Kesos) Depertemen
Sosial RI Tahun 2009 menunjukkan bahwa terdapat 15,41% dari keseluruhan
penyandang cacat di Indonesia adalah penyandang retardasi mental. Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, di Provinsi Jawa Tengah terdapat
4,7% dari keseluruhan penyandang cacat merupakan penyandang gangguan mental. Prevalensi terjadinya retardasi mental
dari tahun ke tahun terus berubah dikarenakan masih kurangnya screening untuk deteksi dini retardasi
mental.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan
penulis menunjukkan bahwa jumlah siswa yang terdaftar pada SLB Negeri Batang
pada tahun 2014 adalah sebanyak 110 siswa. Siswa-siswa tersebut terbagi di
beberapa kelas antara lain B, C, D, Q dan CD. Kelas B adalah kelas untuk siswa
dengan tuna rungu dengan jumlah siswa 25 siswa, kelas C adalah kelas untuk
siswa dengan tuna grahita (retardasi mental) sebanyak 41 siswa, kelas D adalah
kelas untuk siswa dengan tuna daksa (gangguan gerak) sebanyak 9 siswa, kelas Q
adalah kelas untuk siswa dengan autisme sebanyak 12 siswa dan kelas CD adalah
kelas untuk siswa dengan cacat ganda sebanyak 23 siswa. Berdasarkan data yang
ada di SLB Negeri Batang, menunjukkan bahwa presentase tertinggi adalah kelas C
atau kelas dengan siswa retardasi mental dengan presentase 37,27%.
Retardasi mental berpengaruh besar pada
gambaran klinis dan pengguanaan dari semua keterampilan termasuk keterampilan
kognitif, bahasa, motorik dan sosial (PPDGJ-III). Keterbatasan yang ada dan
daya kemampuan yang mereka miliki, akan menimbulkan berbagai masalah antara
lain kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, kesulitan belajar, kesulitan dalam
penyesuaian diri, kesulitan dalam penyaluran tempat kerja, kesulitan dalam
pemanfaatan waktu luang bahkan dapat berdampak pada gangguan kepribadian dan
emosi baik individu dengan retardasi mental ataupun keluarganya (YPAC, 2013).
Bayaknya keterbatasan yang dimiliki anak dengan retardasi mental menunjukkan
pentingnya penanganan pada retardasi mental sehingga anak dengan retardasi
mental mendapatkan pendidikan yang selayaknya.
Sebuah riset yang dilakukan oleh tim
riset dari Fakultas Kedokteran Universitas Washington Amerika Serikat,
menunjukkan bahwa penyebab retardasi mental dan epilepsi adalah adanya gangguan
pada segmen kecil DNA yang hilang. Berdasarkan hasil riset tersebut didapatkan
bahwa ada salah satu gen yang dikenal dengan CHRNA7 yang bertanggung jawab
terhadap peran protein penting yang mengantarkan pesan sel ke otak (Salmiah, 2010).
Riset yang dilakukan oleh Salmah (2010) didapatkan hasil kelainan kromosom
merupakan penyebab pada 28% kasus retardasi mental yang terjadi di SLB Negeri
Semarang. Berdasarkan riset diatas, fungsi intelegensia
pada retardasi mental dipengaruhi oleh faktor kelainan kromosom atau faktor
genetik.
Sebuah riset yang dilakukan oleh Laksono
dkk (2011) di RSUD Serang, selama tahun 2007 sampai tahun 2010 menunjukkan
terdapat 3 kasus yang dipengaruhi oleh faktor genetik yaitu Asma, Hipertensi
primer dan Skizofrenia dengan presentase 0,026%. Nofiansyah (2014) dalam
risetnya menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara golongan darah B
dengan perilaku kekerasan pada pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr.
Amino Gondohutomo Semarang. Berdasar riset diatas, dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan antara faktor genetik dan golongan darah terhadap gangguan
jiwa.
Darah merupakan bagian penting dari
sistem transport tubuh, karena secara
umum sistem transport tubuh manusia
terdiri dari jaringan yang berbentuk cair (Depkes RI, 2009). Ryouka (2011,
dalam Nofiansyah, 2014) mengemukaan, perbedaan jenis karbohidrat dan protein
adalah yang men-jadikan ciri khas dan pembeda pada masing-masing individu
sehingga terbentuk penggolongan darah jenis A B O. Berdasarkan uraian diatas,
maka masing-masing golongan darah memiliki substansi protein yang berbeda.
Sasmita (2008, dalam Nofiansyah, 2014)
mengemukakan, perbedaan substansi protein di dalam darah telah diatur secara
genetik dan diwariskan secara autosom kodominan dalam sistem alel ganda yang
terdapat dalam kromosom. Berdasarkan pewarisan genetik tersebut, ekspresi gen
yang terdapat dalam suatu kromosom akan menghasilkan protein yang selanjutnya
akan berperan sebagai penentu golongan darah. Apabila saat proses pewarisan ini
terjadi gangguan kecil pada DNA maka akan mempengaruhi substansi-substansi
lainnya (Sacher & McPerson, 2004). Perubahan substansi protein akan
mempengaruhi substansi lainnya yang berdampak pada kelainan genetik.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan fenomena-fenomena diatas
yaitu mengenai dampak dari retardasi mental, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang hubungan antara golongan darah dengan retardasi
mental di SLB Negeri Batang. Berdasarkan masalah penelitian diatas, maka
peneliti membuat rumusan masalah “Apakah ada hubungan antara golongan darah
dengan retardasi mental pada siswa di SLB Negeri Batang?”.
C.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara golongan
darah dengan retardasi mental pada siswa di SLB Negeri Batang.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya karakteristik siswa SLB Negeri Batang
(jenis kelamin dan usia).
b. Diketahuinya jenis golongan darah pada siswa
retardasi mental di SLB Negeri Batang.
D.
Manfaat Penelitian
1. Profesi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi referensi tambahan bagi profesi perawat dalam bidang kesehatan tentang
hubungan antara golongan darah dengan retardasi mental. Setelah mengetahui
hasil penelitian ini, diharapkan profesi keperawatan tertarik untuk mempelajari
keperawatan secara molekuler sehingga dapat mengetahui kelainan-kelainan
genetik, khususnya pada retardasi mental. Profesi perawat diharapkan juga dapat
mengembangkan riset sejenis dan kemudian menjadikan penelitian ini sebagai
salah satu rujukan untuk penelitian yang berikutnya.
2. Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi tambahan bagi SLB Negeri Batang terkait siswanya yang
mengalami retardasi mental sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan di
SLB Negeri Batang. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Islam Sultan Agung
Semarang, juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikannya dengan
menjadikan penelitian ini menjadi tambahan kepustakaan untuk Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
3. Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan retardasi mental, baik
yang sudah terdiagnosa ataupun resiko tinggi retardasi mental berdasarkan
golongan darah. Di lingkugan masyarakat juga dapat dilakukan tes untuk
mengetahui anaknya terdiagnosa retardasi mental atau tidak sehingga anak dengan
retardasi mental dapat memeperoleh pendidikan yang selayaknya karena anak
adalah anugrah terindah yang telah diberikan Sang Pencipta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada BAB II ini dibahas berbagai
tinjauan teori dan konsep yang berkaitan dengan permasalahan penelitian sebagai
penunjang hipotesis awal yang penulis cetuskan. Adapun konsep dan teori
meliputi retardasi mental dan golongan darah.
A.
Tinjauan Teori
1. Retardasi Mental
Selama 50
tahun terakhir prevalensi dan kejadian keterbelakangan mental telah dipengaruhi
oleh beberapa hal. Seiring dengan perkembangan dalam ilmu kedokteran molekuler
memungkinkan untuk dilakukan deteksi dini atau bahkan pencegahan terjadinya
retardasi mental. Menurut Salmiah (2010), diperkirakan angka kejadian retardasi
mental adalah 2-3 % dalam suatu populasi.
a. Definisi Retardasi Mental
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis
Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa
yang terhenti ataupun tidak lengkap yang ditandai dengan tidak lengkapnya masa
perkembangan yang berpengaruh pada kecerdasan secara menyeluruh. Retardasi
Mental (mental retardation) bukan
merupakan penyakit, melainkan hasil patologik di dalam otak yang menggambarkan
keterbatasan intelektual dan fungsi adaptif (Armatas, 2009). Retardasi mental
dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa ataupun gangguan fisik lainnya
(Salmiah, 2010). Dapat disimpulkan bahwa retardasi mental merupakan keadaan
terhambatnya perkembangan jiwa yang berpengaruh pada keterbatasan secara
menyeluruh.
b. Klasifikasi Retardasi Mental
Standar fungsi intelektual pada
retardasi mental dapat diketahui dengan test fungsi kecerdasan dan hasilnya
dinyatakan sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ (Salmiah, 2010).
Rumus
test fungsi IQ:
IQ =
MA/CA x 100%
Keterangan:
MA
: Mental Age, umur mental yang didapat dari hasil test
CA : Cronological
Age, umur berdasarkan perhitungan tanggal
lahir
Derajat retardasi mental dalam DSM-IV
dalam Siagian (2010) dibagi menjadi beberapa kriteria sebagai berikut:
1) Fungsi intelektual di bawah rata-rata kira-kira
dibawah 70.
2) Adanya
defisit atau gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif sekarang (efektivitas
orang tersebut untuk memenuhi standar yang dituntut menurut usianya dalam
kelompoknya) pada sekurang-kurangnya dua bidang keterampilan berikut yaitu
komunikasi, merawat diri, keterampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana
masyarakat, mengarahkan diri sendiri, keterampilan akademik fungsional,
pekerjaan, liburan, kesehatan, dan keamanan.
3) Usia kurang dari 18 tahun.
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th Edition,
Text Revision (DSM-IV-TR) (dalam Benny, 2014), retardasi mental dibawah
usia 18 tahun di klasifikasikan sebagai berikut:
Tabel
2.1 Klasifikasi Retardasi Mental
Berdasar IQ
Derajat retardasi mental
|
IQ
|
Borderline
Ringan
Berat
Sangat
Berat
|
50-70
35-50
20-35
<
20
|
Berdasarkan penggolongan tadi, anak
retrdasi mental adalah anak dengan fungsi intelektual di bawah normal atau IQ
dibawah 70.
Klasifikasi retardasi mental berdasarkan
PPDGJ-III tercantum pada F70 sampai dengan F79, dengan penjabaran sebagai
berikut:
1)
F70 Retardasi mental ringan
a)
Berdasarkan dengan tes IQ yang baku dan
tepat, maka IQ berkisar antara 50 sampai 69.
b)
Pemahaman dan penggunaan bahasa
cenderung terlambat pada berbagai tingkat dan masalah kemampuan berbicara yang mempengaruhi
perkembangan kemandirian dapat menetap sampai dewasa, akan tetapi mayoritas
penderita retardasi mental ringan dapat mencapai kemampuan berbicara dalam
kehidupan sehari-hari. Kebanyakan juga mandiri penuh dalam merawat diri sendiri
dan mencapai keterampilan praktis dan keterampilan rumah tangga, walaupun
perkembangannya agak lambat dari anak normal.
c)
Etiologi organik hanya dapat
diidentifikasikan pada sebagian kecil penderita.
d)
Keadaan lain yang menyertai seperti
autisme, gangguan perkembangan lain, epilepsi, gangguan tingkah laku atau
disabilitas fisik dapat ditemukan dalam berbagai proporsi. Bila terdapat
gangguan demikian, maka harus diberi kode diagnosis tersendiri.
2)
F71 Retardasi mental sedang
a)
IQ biasanya mempunyai rentang antara 35
sampai 49.
b)
Umumnya ada profil kesenjangan (discrepancy)
dari kemampuan. Beberapa dapat mencapai kemampuan yang lebih tinggi dengan keterampilan
visuo-spasial dari pada tugas-tugas yang tergantung pada bahasa, sedangkan yang
lainnya sangat canggung namun dapat mengadakan interaksi sosial dan percakapan
sederhana.
c)
Suatu etiologi organik dapat
diidentifikasikan pada kebanyakan penyandang retardasi mental sedang.
d)
Autisme masa kanak-kanak atau gangguan
perkembangan perfasif lainnya terdapat pada sebagian kecil kasus dan mempunyai
pengaruh besar pada gambaran klinis dan tipe penatalaksanaan yang dibutuhkan.
Setiap gangguan penyerta harus diberi kode diagnosis sendiri.
3)
F72 Retardasi mental berat
a)
IQ biasanya dalam rentang antara 20
sampai 34
b)
Pada umumnya mirip dengan retardasi
mental sedang dalam hal:
(1)
Gambaran klinis
(2)
Terdapat etiologi organik
(3)
Kondisi yang meyertainya
(4)
Tingkat prestasi yang rendah
c)
Mayoritas penyandang retardasi mental
berat menderita gangguan motorik yang mencolok atau kekurangan lain yang menyertainya,
menunjukkan adanya kerusakan atau penyimpangan perkembangan yang bermakna
secara klinis dari susunan saraf pusat.
4)
F73 Retardasi mental sangat berat
a)
IQ biasanya berada dibawah 20
b)
Pemahaman dan penggunaan bahasa
terbatas, paling tidak penyandang retardasi mental masih dapat mengerti
perintah dasar dan mengajukan permohonan sederhana.
c)
Keterampilan visuo-spasial yang paling
dasar tentang memilih dan mencocokan mungkin dapat dicapainya dan dengan pengawasan
dan petunjuk yang tepat, penderita mungkin dapat sedikit ikut melakukan tugas
praktis dan rumah tangga.
d)
Suatu etiologi organik dapat
diidentifikasikan pada sebagian besar kasus.
e)
Biasanya terdapat disabilitas neurologik
dan fisik lain yang berat, yang mempengaruhi mobilitas, seperti epilepsi dan
penurunan daya lihat dan daya dengar. Sering terdapat gangguan perkembangan
pervasif dalam bentuk sangat berat khususnya autisme yang tidak khas terutama
pada penderita yang tidak dapat bergerak.
5)
F78 Retardasi mental lainnya
Kategori ini hanya digunakan bila
penilaian dari tingkat retardasi mental dengan memakai prosedur biasa sangat
sulit dan tidak mungkin dilakukan karena adanya gangguan sensorik atau fisik, misalnya
buta, bisu, tuli, dan penderita yang perilakunya terganggu berat atau fisiknya
tidak mampu.
6)
F79 Retardasi mental yang tak
tergolongkan
Terdapat jelas adanya retardasi mental,
tetapi tidak ada informasi yang cukup untuk menggolongkan dalam salah satu
penggolongan retardasi mental yang tersebut di atas.
c. Etiologi Retardasi Mental
Beberapa
gangguan telah ditemukan memiliki dasar etiologi yang pasti, yang mungkin biokimia, kromosom, kelainan
genetik Mendel, atau karena efek lingkungan seperti racun, infeksi, trauma
atau anoxia perinatal,
tetapi dalam persentase yang signifikan
dari kasus yang mendasari penyebab masih belum diketahui (Faradz, 2005).
Menurut Armatas (2009), penyebab retardasi mental dapat dikategorikan sebagai
berikut:
1. Kondisi Genetik
Keterbelakangan mental dapat disebabkan
oleh sejumlah gangguan gen tunggal. Beberapa kondisi genetik yang dapat
mempengaruhi kejadian retardasi mental antara lain fragile X syndrome, neurofibromatosis,
tuberous sklerosis. Beberapa kelainan
genetik lain yang dapat menyebabkan retardasi mental antara lain Down Syndrome (trisomi 21), Sindrom
Klinefelter (47, XXY). Kelainan-kelainan genetik ini dapat diwariskan dari
orang tua.
2. Masalah Prenatal
Retardasi mental dapat terjadi ketika
janin tidak mampu berkembang dengan maksimal atau sempurna. Beberapa penyebab
prenatal termasuk infeksi kongenital seperti
cytomegalovirus,
toksoplasmosis,
herpes, sifilis, rubella dan Human Immuno-deficiency Virus
(HIV), demam pada ibu pada trimester
pertama, paparan alkohol.
Komplikasi prematuritas juga ikut serta dalam faktor penyebab terjadinya
retardasi mental antara lain BBLR atau paparan postnatal.
3. Masalah Perinatal
Masalah-masalah perinatal yang dapat
mempengaruhi terjadinya retardasi mental antara lain akhir kehamilan
(komplikasi kehamilan, penyakit dalam ibu seperti
gangguan jantung, penyakit ginjal,
diabetes dan disfungsi plasenta), saat melahirkan (berat prematuritas, berat
lahir sangat rendah, asfiksia lahir, sulit dan trauma kelahiran),
neonatal (septicemia, ikterus, hipoglikemia).
4. Masalah Postnatal
(pada masa bayi dan masa anak-anak)
Pada masa bayi dan anak-anak sangat
rentan terjangkit beberapa infeksi otak seperti tuberkulosis, ensefalitis dan
meningitis. Penyebab lain yang sangat memugkinkan terjadinya retardasi mental
merupakan cedera kepala, paparan timbal kronis dan malnutrisi.
5. Gangguan Metabolisme
Terdapat beberapa kasus gangguan
metabolisme misalnya hipotiroidisme, mucopolysaccharidosis
dan sphingolipidoses sangat berperan
sebagai penyebab retardasi mental karena beberapa kondisi tadi membuat tubuh
mengalami penurunan respon terhadap adanya infeksi. Kedokteran molekuler telah
dapat mendeteksi beberapa kondisi diatas sehingga memungkinkan untuk dilakukan
pencegahan secara dini.
6. Paparan beberapa Penyakit atau Racun
Campak dan meningitis merupakan beberapa
keadaan yang dapat mempengaruhi terjadinya retardasi mental. Adanya paparan
racun seperti timah dan merkuri juga merupakan penyebab terjadinya retardasi
mental.
7. Defisiensi Yodium
Dampak jangka panjang dari kekurangan
yodium adalah retardasi mental. Keadaan ini disebut fullfledged kretinisme. Keadaan seperti ini dalam bentuk yang
ringan akan mengakibatkan penurunan kecerdasan. Beberapa keadaan lain yang
mungkin terjadi saat tubuh mengalami defisiensi yodium adalah terjadinya
pembesaran kelenjar tiroid.
8. Malnutrisi
Jangka panjang saat tubuh mengalami
kekurangan nutrisi maka otak juga akan mengalami penurunan karena kurangnya
energi yang akan berpengaruh pada penurunan intelegensi.
d. Diagnosis Retardasi Mental
Diagnosis retardasi mental tidak hanya
difokuskan pada pasien dengan retardasi mental saja (Sularyo dkk, 2000).
Langkah pertama dalam diagnosis retardasi mental adalah mendapatkan data pasien
dan keluarga secara komperhensif (Armatas, 2009). Data-data tersebut sangat
menunjang untuk mengetahui penyebab dari retardasi mental.
Penilaian tentang keadaan fisik dan juga
lingkungan juga perlu dilakukan, tetapi untuk mendiagnosis anak tersebut
retardasi mental paling mudah menggunakan tes IQ (Salmiah, 2010). Tes IQ
dilakukan dengan memberikan beberapa soal kepada anak dengan tujuan untuk
mengetahui fungsi otak kiri dalam mengatur kemampuan berbahasa, logika,
akademis, analisis dan intelektual (Siagian, 2010). Anak dengan retardasi
mental adalah anak dengan penurunan kemampuan berbahasa, logika, akademis,
analisis dan intelektual sehingga dengan tes IQ dapat menegakkan diagnosa
retardasi mental.
Ada beberapa komponen dalam tes IQ,
Alder (2001) dalam Siagian (2010) menjelaskan ada 4 bidang luas dalam tes IQ,
antara lain:
1) Penalaran verbal
a) Kosa kata (vocabulary),
mendefinisikan kata, seperti “uang” dan “amplop”
b) Pemahaman
(comprehension), menjawab pertanyaan seperti “Ke mana orang membeli
makanan?” dan “Mengapa orang menyisir rambutnya?”
c) Keganjilan
(absurdities), mengenali bagian “lucu” dari sebuah gambar, seperti “Anak
perempuan mengendarai sepeda di atas danau” atau “Pria botak menyisir
rambutnya”
d) Hubungan
verbal (verbal relation), mengatakan bagaimana tiga kata pertama di
dalam urutan adalah mirip satu sama lain dan bagaimana mereka berbeda dari kata
keempat, contohnya syal, dasi, selendang, dan baju.
2) Penalaran kuantitatif
a) Kuantitatif (quantitative),
melakukan hitungan aritmatika sederhana seperti memilih mata dadu dengan enam
titik, kerena jumlah titik sama dengan kombinasi mata dadu dua titik dan empat
titik.
b) Urutan
angka (number series), mengisi dua angka selanjutnya seperti 20, 16, 12,
8, ...
c) Membentuk
persamaan (equation building), membentuk persamaan dari susunan berikut:
2 3 5 + = . Jawaban yang benar
adalah 2 + 3 = 5.
3) Penalaran abstrak atau visual
a) Analisis pola (pattern
analysis), mencontoh bangun sederhana dengan balok.
b) Mencontoh gambar (copying), mencontoh gambar geometris yang ditunjukkan oleh penguji,
seperti gambar persegi empat yang dipotong oleh dua diagonal.
4) Memori jangka pendek
a) Mengingat bentuk (bead memory), menunjukkan beberapa bentuk manik-manik yang berbeda
dan disusun di sebuah kayu. Buatlah yang sama dengan ingatan saja.
b) Mengingat
kalimat (memory of sentences), mengulangi kalimat yang diucapkan oleh
penguji seperti “Sekarang waktunya tidur” dan “Ken membuat gambar untuk hadiah
ulang tahun ibunya.”
c) Mengingat
angka (memory of digits), mengulangi urutan angka yang diucapkan oleh
penguji seperti 5, 7, 8, 3, maju atau mundur.
d) Mengingat
benda (memory of objects), menunjukkan gambar satu benda seperti jam dan
gajah, satu per satu kenali benda tersebut dalam urutan penampilannya yang
tepat digambar yang juga mencakup benda lain, contohnya bis, badut, gajah,
telur, dan jam.
e. Dampak Retardasi Mental
Perkembangan anak retardasi mental
berbeda dengan anak lainnya, anak retardasi mental mempunyai kemampuan
perkembangan dalam komunikasi, fungsi akademik dan keterampilan yang dibawah
rata-rata dibandingkan dengan anak normal umumnya (Siagian, 2010). Penururnan
fungsi perkembangan ini berpengaruh pada gambaran klinis dan pengguanaan dari
semua keterampilan kognitif, bahasa, motorik dan sosial (PPDGJ-III). Anak
retardasi mental akan mengalami gangguan dalam hal secara umum dan menyeluruh.
Menurut Kaplan & Sadock (1997) dalam
Siagian (2010), ada beberapa kriteria anak dengan rerdasi mental berdasar
derajat dan usia, antara lain:
1) Derajat sangat berat
Ketika usia prasekolah (0-5 tahun)
retardasi mental jelas terlihat, kapasitas fungsi minimal dalam sensorimotorik,
memerlukan perawatan, memerlukan bantuan dan pengawasan. Ketika usia
sekolah/latihan dan pendidikan (6-20 tahun) terdapat beberapa perkembangan
motorik dan dapat berespon minimal atau terbatas menolong dirinya sendiri. Usia
dewasa/keadekuatan (>21 tahun) terdapat perkembangan motorik dan bicara,
serta dapat mencapai perawatan diri yang sangat terbatas.
2) Derajat berat
Usia prasekolah didapatkan perkembangan
motorik kurang, bicara sedikit, tidak mempunyai kemampuan berkomunikasi. Usia
sekolah anak dengan retardasi mental mampu berbicara. Usia dewasa terdapat
peran dalam pemeliharaan diri sendiri di bawah pengawasan serta dapat mengembangkan
keterampilan melindungi diri sendiri.
3) Derajat sedang
Usia prasekolah anak dengan retardasi
mental dapat berbicara untuk berkomunikasi, kesadaran sosial yang buruk, dan
pengembangan motorik yang bagus. Usia sekolah, dapat memperoleh manfaat dari
latihan keterampilan yang diajarkan dan dapat pergi sendiri ke tempat yang tidak
dikenal. Usia dewasa, dapat bekerja sendiri dalam pekerjaan yang tidak terlatih
di bawah pengawasan.
4) Derajat ringan
Usia prasekolah, dapat mengembangkan
keterampilan sosial dan komunikasi, retardasi minimal dan bidang sensori-motorik
lebih baik. Usia sekolah, dapat belajar keterampilan akademik sampai kira-kira
kelas enam pada usia remaja. Usia dewasa pasien biasanya dapat mencapai
keterampilan sosial dan kejuruan yang adekuat untuk membiayai diri sendiri
minimal.
Menurut Yayasan Penyandang Anak Cacat
(YPAC) Indonesia tahun 2013, anak dengan retardasi mental akan mengalami
permasalahan dalam menjalani kehidupannya baik secara kualitatif ataupun
kuantitatif. Masalah-masalah ini dapat berbeda-beda yang kemudian dikelompokkan
sebagai berikut:
1) Masalah kesulitan dalam kehidupan sehari-hari
Masalah ini berkaitan dengan kesehatan
dan pemeliharaan diri dalam kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi keterbatasan
anak retardasi mental dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak mengalami
kesulitan. Penurunan pemeliharaan kehidupan sehari-harinya sangat memerlukan
bimbingan karena itulah disekolah diharapkan dapat memberikan sumbangan layanan
yang berarti dalam melatih dan membiasakan anak retardasi mental untuk merawat
dirinya sendiri.
2) Masalah kesulitan belajar
Dengan keterbatasan kemampuan berfikir
mereka, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mereka akan mengalami kesulitan
belajar. Kesulitan tersebut terutama dalam bidang pelajaran akademik, sedangkan
bidang studi non-akademik mereka tidak banyak kesulitan dalam belajar. Masalah
yang dirasakan kaitannya dalam proses belajar mengajar diantaranya adalah kesulitan
menangkap pelajaran, kesulitan dalam belajar yang baik, mencari metode yang
tepat, kemampuan berfikir abstrak, daya ingat yang lemah dan sebagainya.
3) Masalah penyesuaian diri
Masalah ini berkaitan dengan
masalah-masalah atau kesulitan dalam hubungan dengan kelompok maupun individu
disekitarnya. Disadari bahwa kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan
sangat dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan. Dikarenakan tingkat kecerdasan anak
retardasi mental dibawah rata-rata, maka dalam kehidupan bersosialisasi
mengalami hambatan. Disamping itu, anak dengan retardasi mental, ada
kecenderungan untuk diisolir atau dijauhi oleh lingkungannya, masyarakat atau
keluarganya.
4) Masalah penyaluran ke tempat kerja
Kehidupan anak retardasi mental
cenderung masih banyak yang menggantungkan diri kepada orang lain terutama
kepada keluarga dan masih sedikit sekali yang dapat hidup mandiri. Perlu
disadari betapa pentingnya masalah penyaluran tenaga kerja tuna grahita
(retardasi mental) ini, untuk itu perlu difikirkan matang-matang dan secara
ideal dapat diwujudkan dengan penanganan yang serius. Karena ternyata anak
dengan retardasi mental, setelah selesai dari program pendidikannya ternyata
masih banyak yang menggantungkan diri dan membebani kehidupan keluarganya.
Berdasar penjabaran diatas hendaknya
pihak sekolah lebih banyak meningkatkan kegiatan non akademik, baik itu berupa
kerajinan tangan, ketrampilan dan sebagainya yang semua itu diharapkan dapat
membekali mereka untuk terjun ke masyarakat.
5) Masalah pemanfaatan waktu luang
Anak dengan retardasi mental dapat
tergolong dengan menjadi anak yang hiperaktif dan anak yang cendering berdiam
diri. Anak yang hiperaktif akan cenderung beresiko mengganggu ketenangan
lingkungannya sementara anak yang cenderung berdiam diri dan menjauhkan diri
dari keramaian akan sangat beresiko untut terjadinya perilaku bunuh diri.
Berdasar hal tersebut, sangat perlu adanya kegiatan dalam waktu luang, sehingga
anak dengan retardasi mental dapat terjauhkan dari bahaya dan tidak beresiko
mengganggu ketenangan lingkungan.
6) Masalah kepribadian dan emosi
Penurunan kemampuan mental anak dengan
retardasi mental dapat mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi, sosial dan
intelektualnya. Keadaan ini dapat dilihat pada kegiatan sehari-hari anak
retardasi mental yang hanya berdiam diri selama berjam-jam, gerakan yang
hiperaktif, mudah marah dan tersinggung atau bahkan suka mengganggu orang lain.
2. Golongan Darah
Perbedaan jenis karbohidrat dan protein yang menempel pada permukaan sel
darah adalah merupakan ciri khas yang menjadikan perbedaan golongan darah pada
masing-masing individu. Secara genetik perbedaan ini akan diwariskan dengan
sistem alel ganda.
a. Definisi Darah
Darah merupakan bagian penting dalam
sistem transport tubuh, karena secara
umum sistem transport tubuh manusia terdiri dari bagian yang berbentuk cair
(Depkes RI, 2009). Darah adalah suatu suspensi pertikel di dalam larutan koloid
cair yang mengandung elektrolit (Anggraeni, 2014). Berdasar penjelasan diatas
berarti darah adalah suatu komponen elektrolit yang digunakan untuk sistem
transport tubuh.
Komponen darah terdiri dari sel darah
merah (eritrosit), beberapa jenis sel darah putih (leukosit) dan keping darah
(trombosit) (Prince & Wilson, 2005). Pergerakan fisiologis darah berada di
dalam pembuluh darah menyebabkan sel-sel darah menyebar merata di plasma darah
(Sheerwood, 2011). Dapat disimpulkan darah secara fisiologis memiliki fungsi
sebagai berikut (Handayani dan Hariwibowo, 2008):
1. Sebagai alat pengangkut yang meliputi hal-hal
berikut ini:
a) Mengangkut oksigen (O₂) dan karbondioksida (CO₂).
b) Mengangkut sisa-sisa dari hasil metabolisme jaringan
berupa urea, kreatinin dan asam urat.
c) Mengangkut sari makanan yang diserap melalui usus
untuk disebarkan ke seluruh tubuh.
d) Mengangkut hasil-hasil metabolisme.
2. Mengatur keseimbangan cairan tubuh.
3. Mengatur panas tubuh.
4. Berperan serta dalam mengatur asam-basa (pH) cairan
tubuh.
b. Jenis Golongan Darah
Kemajuan pemeriksaan kariotip yang
canggih dapat mengetahui bahwa semua sel darah normar dianggap berasal dari
satu sel induk pluropotensial dengan kemampuan bermitosis (Anggraeni, 2014).
Sel induk ini akan berdiferensiasi menjadi sel limfosis dan sel mieloid yang
seiring dengan pendewasaanya akan beredar dalam darah dan menempel di permukaan
sel darah (Price & Wilson, 2005). Pada permukaan sel darah, akan ditemukan
sel-sel darah yang berasal dari satu sel induk.
Ryouka (2011, dalam Nofiansyah, 2014)
mengemukakan pada membran permukaan sel darah merah akan ditemukan jenis
karbohidrat dan protein yang bervariasi. Protein yang menempel di permukaan sel
darah merah tersebut sering disebut sebagai antigen herediter yang bertugas
menentukan golongan darah (Sherwood, 2011). Ganong (2002, dalam Anggraeni,
2014) mengemukakan Antigen tersebut dinamakan aglutinogen. Golongan darah
individu akan memiliki antigen yang berbeda dengan golongan darah lain.
Antigen golongan darah bertugas untuk
memproduksi antibodi yang berguna untuk melawan penyebab penyakit (D’Adamo,
2006). Antibodi secara alami muncul dalam plasenta sejak bayi berusia sekitar 6
bulan (Anggraeni, 2014). Dalam masing-masing golongan darah akan memiliki
bagian protein dan gugus gula yang mungkin akan berbeda dan menjadikan dasar
kekhasan antigen-antibodi (Suryo, 2010). Antigen-antibodi akan memiliki ciri
khas yang dapat dikenali dari susunan protain ataupun gugus gula suatu golongan
darah.
Tabel
2.2 Antigen dan antibodi dalam Golongan
Darah Manusia
(Melati
dkk, 2011).
Golongan darah
|
Antigen dalam eritrosit
|
Antibodi dalam serum
|
A
B
AB
O
|
A
B
A
dan B
-
|
Anti-B
Anti-A
-
Anti-A
dan Anti-B
|
Berdasar tabel diatas dapat diketahui
bahwa seseorang dengan golongan darah tertentu akan memiliki antigen yang sama
dengan golongan darah tersebut tetapi tidak memiliki antibodi yang sama dengan
antigen yang dia miliki.
c. Struktur Golongan Darah Sistem ABO
Gugus gula spesifik yang terletak di
ujung sebuah rantai gula pendek yang melekat ke suatu molekul kompleks dengan
struktur protein atau lemak adalah kunci dari aktifitas antigenik (Anggraeni,
2014). Golongan darah sistem ABO tersusun dari 4 molekul gula dan protein atau
lemak yang berikatan diantaranya adalah D-galaktosa, N-asetilgalaktosamin,
N-asetilglukosamin dan L-fukosa (Sacher & Mc Pherson, 2004). Aktifitas
antigenik tersusun dari molekul gula dan protein atau lemak yang saling
berikatan.
1) Golongan darah A
Golongan darah A memiliki antigen-A pada
permukaan sel darah merah dan cairan serum darah terdapat IgM antibodi yang
bertugas melawan antigen-A (Daniels, 2001). Antigen-A tersusun dari 1 molekul
fukosa, 2 molekul galaktosa, 1 molekul N-asetilgalaktosamin dan 1 molekul
N-asetilglukosamin (Sacher & McPherson, 2004). Kelebihan
N-asetilgalaktosamin akan menjadikan golongan darah tersebut berfenotip A
(Anggraeni, 2014). N-asetilgalaktosamin adalah molekul yangdingunakan untuk
penanda jenis golongan darah A.
Antigen-A yang dimiliki golongan darah A
akan menggumpal saat bertemu dengan Abtibodi-A (HTA Indonesia, 2003). Individu
dengan golongan darah A hanya dapat menerima donor darah dari golongan darah A
dan O tetapi hanya bisa mendonorkan kepada golongan darah A dan AB (Nofiansyah,
2014). Antibodi-A akan menggumpal saat bertemu dengan Antigen-A yang dimiliki
golongan darah A sehingga golongan darah A tidak bisa mendapat donor dari
golongan darah B dan AB.
2) Golongan darah B
Golongan darah B akan memiliki antigen-B
yang menempel di permukaan sel dara merah dan cairan serum darah terdapat IgM
antibodi yang berfungsi untuk melawan antigen-B (Daniels, 2001). Antigen-B
tersusun dari molekul galaktosa yang berlebih (Sacher & Mc Pherson, 2004).
Kelebihan molekul galaktosa akan menjadikan golongan darah ini berfenotip B
(Anggraeni, 2014). Molekul galaktosa yang berlebih adalah adalah ciri yang
menyusun antigen-B.
Golongan darah B akan menggumpal jika
bertemu dengan golongan darah A (HTA, 2003). Antigen-B yang dimiliki golongan
darah B akan bergranulasi saat bertemu dengan antbodi-B yang dimiliki golongan
darah A (Daniels, 2001). Individu dengan golongan darah B hanya bisa menerima
donor dari golongan darah B dan O tetapi hanya bisa mendonorkan darahnya ke
individu dengan golongan darah B dan AB (Nofiansyah, 2014). Individu dengan
golongan darah B tidak dapat mendonorkan darahnya ke golongan darah A karena
antigen-B akan bergranulasi jika bertemu dengan antibodi-B.
3) Golongan darah AB
Golongan darah AB adalah golongan darah
yang sama sekali tidak memiliki antibodi di dalam serum darah (Daniels, 2001).
Golongan darah ini memiliki antigen-A dan antigen-B (Nofiansyah, 2014).
Gabungan dari gugus glikoprotein yang ada di golongan darah A dan golongan
darah B adalah ciri khas penyusun golongan darah AB (Anggraeni, 2014). Golongan
darah AB adalah golongan darah yang tersusun atas gugus glikoprotein yang ada
di golongan darah A dan golongan darah B sehingga golongan darah ini sama
sekali tidak memiliki antibodi.
Golongan darah AB tidak memiliki
antibodi karena golongan darah ini memiliki antigen-A dan antigen-B (Daniels,
2001). Antigen-A akan menghasilkan antibodi-B dan antigen-B akan menghasilkan
antibodi-A, tetapi dalam kasus ini apabila masing masing antigen-A ataupun
antigen-B menghasilkan antibodi, maka darah pada individu akan menggumpal dan
menyebabkan kematian (Garratty, 2005). Berdasarkan hal tersebut, maka individu
dengan golongan darah AB dapat menerima donor dari golonngan darah mana saja
tetapi hanya bisa mendonorkan darahnya ke golongan darah yang sama (Nofiansyah,
2014). Aktifitas pendonoran harus selalu memperhatikan antigen-antibodi
individu baik yang mendonor ataupun yang didonorkan.
4) Golongan darah O
Golongan darah O merupakan golongan
darah dengan ciri tidak ditemukan antigen-A dan antigen-B pada permukaan sel
darah merah dan di serum darah terdapat IgM antibodi-A dan antibodi-B (Daniels,
2001). Terdapat beberapa gugus glikoprotein yang menyusun golongan darah ini
antara lain 1 molekul fukosa, 1 moleku N-asetilglukosamin dan 2 molekul
galaktosa (Sacher & Mc Pherson, 2004). Gugus glikoprotein tidak bersifat
imunogenik (Anggraeni, 2014). Gugus glikoprotein yang bersifat tidak imunogenik
ini yang menjadikan banyak yang berpendapat bahwa golongan darah O adalah
golongan darah yang tidak memiliki antigen di permukaan sel darah merah.
Granulasi dapat terjadi pada golongan
darah ini jika bertemu dengan golongan darah yang memiliki antigen-A dan
antigen-B (Garratty, 2005). Individu
dengan golongan darah AB dapat mendonorkan darah ke semua jenis golongan darah
tetapi hanya bisa mendapatkan donor dari golongan darah sejenisnya saja
(Nofianyah, 2014). Penentuan golongan darah sangatlah penting untuk mencegah
penggumpalan darah pada saat aktifitas donor darah dilakukan.
Pewarisan golongan darah dalam sistem
ABO telah diatur secara autosom kodomian dalam sistem alel ganda yang ada di
dakam gen suatu kromosom (Sasmita, 2008 dalam Nofiansyah 2014). Dilihat dari
sudut genetiknya, glikoprotein penyusun golongan darah dalam sistem ABO
ternyata memiliki dasar yang serupa (Sacher & McPherson, 2004). Gugus
hidrat arang adalah penentu antigen golongan tertentu karena gugus hidrat arang
akan mengalami perubahan bertingkat setelah terkena pengaruh dari gen H, A, B
dan O yang kemudian akan menjadi antigen golongan darah tertentu (Daniels,
2001). Gugus hidrat yang mendapat pengaruh dari gen H, A, B dan O akan menjadi
senyawa tertentu yang telah diatur secara autosom kodominan.
d. Cara menentukan golongan darah
Darah memiliki antigen dan antibodi,
dimana masing-masing antigen dan antibodi terdiri dari A dan B (Melati dkk,
2011). Pengujian golongan darah menggunakan suatu serum penguji yang disebut
test serum yang terdiri dari test serum anti-A dan test serum anti-B (Sasmita,
2008 dalam Nofiansyah, 2014).
Tabel 2.3 Logika
Penggumpalan
Serum Anti-A
|
Serum Anti-B
|
Golongan Darah
|
Menggumpal
|
Tidak
Menggumpal
|
A
|
Tidak
Menggumpal
|
Menggumpal
|
B
|
Menggumpal
|
Menggumpal
|
AB
|
Tidak
Menggumpal
|
Tidak
Menggumpal
|
O
|
Berdasarkan penjabaran diatas dapat
disimpulkan bahwa saat dilakukan pengujian golongan darah akan terlihat
terjadinya gumpalan atau tidak menggumpal sama sekali pada sampel darah karena
adanya reaksi antigen dan antibodi.
Antigen dan antibodi adalah sejenis
protein yang menempel di permukaan sel darah merah yang menunjukkan jenis
golongan darah tertentu (Daniels, 2003). Golongan darah menusia diatur secara
genetik dalam sistem alel ganda (Nofiansyah, 2014). Alel merupakan sepasang gen
yang terletak pada lokus yang berada pada kromosom homolog yang bertugas
sebagai pembawa informasi genetik yang diturunkan (Elvita dkk, 2008).
Tabel 2.4 Alel Ganda Golongan Darah (Saefudin, 2007)
Golongan Darah
|
Alel Ganda
|
A
|
Iá´¬Iá´¬/Iá´¬iá´¼
|
B
|
Iá´®Iá´®/Iá´®iá´¼
|
AB
|
Iá´¬Iá´®
|
O
|
iá´¼iá´¼
|
Perkawinan dengan sistem alel ganda akan
menjadikan individu akan mempunyai variasi golongan darah yang akan diturunkan.
B.
Kerangka Teori
(Armatas, 2009;
Siagian, 2010; YPAC, 2013; Nofiansyah, 2014)
Gambar Skema
2.1 Kerangka Teori
Keterangan
:
: Area yang diteliti
: Area yang tidak
diteliti
C.
Hipotesis
Hipotesis
penelitian merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah, karena jawaban
tersebut masih didasarkan pada teori yang relevan belum sampai pada
fakta empiris melalui pengumpulan data. Hipotesis penelitian ada dua
yakni hipotesis kerja (Ha) dan hipotesis nol (Hο), hipotesis kerja secara umum
dinyatakan dalam kalimat positif sedangkan hipotesis nol dapat dinyatakan
kalimat negatif (Hidayat, 2010).
Hipotesis pada
penelitian ini sebagai berikut:
Ha : Ada hubungan antara golongan darah dengan
retardasi mental pada siswa retardasi mental di SLB N Batang.
Ho : Tidak ada hubungan antara golongan darah
dengan retardasi mental pada siswa retardasi mental di SLB N Batang.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
Variabel
Independen Variabel
Dependen
Gambar
Skema 3.1 Kerangka Konsep
Keterangan:
: Area yang diteliti
: Ada hubungan
B. Variabel Penelitian
1.
Variabel bebas : Golongan darah.
2.
Variabel terikat : Retardasi mental pada siwa-siswi dengan retardasi
mental di SLB Negeri Batang.
C. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional, dimana peneliti
berupaya mencari adanya hubungan antar variabel. Adapun penelitian ini
menggunakan desain pendekatan cross
sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau
observasi data variabel independen dan variabel dependen hanya satu kali pada
satu saat dan tidak ada tindak lanjut. Variabel independen dan dependen tidak
harus dinilai dalam satu waktu, tetapi hanya dinilai satu kali saja. Studi ini
akan memperoleh prevelensi atau efek
fenomena (variabel independen) dihubungkan dengan penyebab (variabel
independen) (Nursalam, 2011).
D. Populasi dan Sampel Penelitian
1.
Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah
siswa-siswi dengan retardasi mental yang berada di kelas C yang bersekolah di
SLB Negeri Batang. Populasi pada penelitian ini berjumlah 41 siswa.
2.
Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah bagian populasi
terjangkau yang dapat digunakan sebagai subjek penelitian memalui sampling.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Total sampling. Total sampling adalah
teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi (Sugiyono,
2007). Alasan mengambil total sampling karena menurut Sugiyono (2007) jumlah
populasi yang kurang dari 100 seluruh populasi dijadikan sampel penelitian
semuanya.
Untuk mendapatkan data sesuai dengan
fokus penelitian ini, maka peneliti menentukan responden penelitian dengan
kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut:
a.
Kriteria Inklusi adalah karakteristik
umum subjek penelitian pada populasi target dan populasi terjangkau
(Sastroasmoro, 2008).
Kriteria inklusi pada penelitian
ini:
1)
Siswa-siswi dengan retardasi mental yang
sedang menjalani pendidikan di SLB Negeri Batang.
2)
Siswa-siswi dengan retardasi mental
berusia <18 tahun.
3)
Siswa-siswi yang bersedia menjadi
responden.
b.
Kriteria Eksklusi adalah sebagian subjek
yang memenuhi kriteria inklusi yang harus dikeluarkan dari studi karena
berbagai sebab (Sastroasmoro, 2008).
Kriteria eksklusi pada penelitian
ini:
1)
Siswa-siswi yang menolak untuk dilakukan
pengujian golongan darah.
E. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SLB Negeri
Batang. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Desember 2014.
F. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No
|
Variabel
|
Definisi
Operasional
|
Cara Ukur
|
Hasil Ukur
|
Skala Ukur
|
1.
|
Golongan darah
|
Sebuah pengklasifikasian darah
berdasarkan komponen atau subsatansi antigen (protein, glikoprotein,
glikolipid) yang menempel pada permukaan sel darah merah. Perbedaan substansi
ini mengakibatkan darah di klasifikasikan menjadi 4 golongan yaitu jenis
golongan darah A, B, O dan AB.
|
Menggunakan alat atau bahan cek
golongan darah serum anti-A dan anti-B.
|
Didapatkan kategori menjadi 4 golongan
darah:
-
A
-
B
-
O
-
AB
|
Nominal
|
2.
|
Retardasi
mental
|
keadaan perkembangan jiwa yang
terhenti ataupun tidak lengkap yang ditandai dengan tidak lengkapnya masa
perkembangan yang berpengaruh pada kecerdasan secara menyeluruh
|
Menggunakan tes Intelegensi Question (IQ)
|
Didapatkan
kategori retardasi mental berdasarkan tes IQ:
-
Ringan
-
Sedang
-
Berat
-
Sangat berat
|
Ordinal
|
G. Instrumen atau Alat Pengumpulan
Data
1.
Instrumen Data
Alat yang digunakan untuk
pengumpulan data antara lain:
a.
Absensi siswa, digunakan untuk
mengetahui data-data sampel penelitian seperti nama, usia dan jenis kelamin.
b.
Pengukuran, alat ukur cek golongan darah
(serum anti-A dan serum anti-B) yang digunakan untuk mengecek jenis golongan
darah (A, B, AB, O) dan tes IQ untuk mengetahui tingkat atau kriteria pada
retardasi mental.
2.
Uji Instrumen Penelitian
Tujuan dari uji instrumen penelitian ini
adalah sejauh mana instrumen yang dilakukan untuk penelitian dapat diterima
atau ditolak.
H. Metode Pengumpulan Data
Setelah mendapatkan ijin dari pihak SLB
Negeri Batang, peneliti menjelaskan tujuan dan manfaat peran serta selama
penelitian. Proses pengumpulan data dilakukan peneliti dibantu dengan guru-guru
yang bekerja di SLB Negeri Batang, yang telah menyamakan persepsinya agar tidak
timbul adanya suatu kerancuan baik peneliti ataupun guru.
Pertama, penguji menjelaskan tujuan dan
manfaat penelitian ini kepada siswa-siswi dengan retardasi mental ataupun orang
tuanya agar terbina hubungan saling percaya. Setelah mengetahui tujuan dan
manfaat dilakukannya penelitian ini diharapkan orang tua siswa-siswi dengan
retardasi mental bersedia menjadi responden yang kemudian akan dilakukan tes Intelegensi Question (IQ) untuk
mengetahui siswa-siswi tersebut mengalami retardasi mental dalam tingkat
ringan, sedang, berat atau sangat berat. Kemudian melakukan kontrak waktu dan
persetujuan (informed consent) untuk
mengecek golongan darah siswa-siswi dengan retardasi mental dengan menggunakan
serum anti-A dan anti-B. Pengumpulan data dilakukan dengan cara angket langsung
dan mengecek golongan darah pasien yang memenuhi syarat serta bersedia menjadi
responden.
I.
Analisa
Data
1.
Pengelolaan Data
Menurut Hidayat (2007), dalam proses
pengelolaan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh, diantaranya:
a.
Editing
Upaya untuk memeriksa kembali kebenaran
data yang diperoleh atau dikumpulkan. Dapat dilakukan pada tahap pengumpulan
data atau setelah data terkumpul.
b.
Coding
Kegiatan pemberian kode numerik (angka)
terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah pada waktu analisa data.
c.
Entry
data
Kegiatan memasukan data yang telah
dikumpulkan kedalam master tabel atau databes komputer, kemudian membuat
distribusi frekuensi sederhana atau bisa juga dengan membuat tabel.
d.
Melakukan teknik analisis
Dalam melakukan analisis, khususnya
terhadap data penelitian akan menggunakan ilmu statistik terapan yang
disesuaikan dengan tujuan yang hendak dianalisis. Penelitian ini analisis analitik
dengan menggunakan statistika inferensial. Statistik inferensial
(menarik kesimpulan) adalah statistika yang digunakan untuk menyimpulkan
parameter (populasi) berdasarkan statistik (sampel) atau lebih dikenal dengan
proses generalisasi dan inferensial.
2.
Jenis Analisa Data
Jenis analisa data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
a.
Analisa Univariat
Bertujuan untuk menggambarkan sampel
penelitian dari semua variabel penelitian dengan cara menyusun secara
tersendiri untuk masing-masing variabel. Adapun variabel-variabel yang
dianalisa yaitu: golongan darah dan retardasi mental pada siswa retardasi
mental, keduanya masing-masing berskala antara nominal dan ordinal.
b.
Analisa data Bivariat
Digunakan untuk mengetahui hubungan
antara variabel independen (golongan darah) dengan variabel dependen (retardasi
mental pada siswa dengan retardasi mental). Penelitian ini menggunakan uji
statistik Chi-Square (Sugiyono, 2010).
Rumus Chi-Square
atau Chi Kuadrat:
|
Keterangan:
X² :
Chi-Square
f˳ :
frekuensi yang diobservasi
fh : frekuensi yang
diharapkan
Untuk mengetahui kekuatan atau
keeratan hubungan dua variabel. Menurut Dahlan (2013), pelaksanaan uji dengan
menggunakan program statistik SPSS (Statistik Product and Service Solution).
Korelasi Chi-Square untuk mengetahui sebagai berikut:
1)
Apabila (p value <
0,05), Ha diterima dan Ho ditolak berarti ada hubungan antara variabel
bebas dengan variabel terikat.
2)
Apabila (p value >
0,05), maka Ha ditolak dan Ho diterima berarti tidak ada hubungan antara
variabel bebas dan variabel terikat.
J.
Etika
Penelitian
Tahap awal sebelum melakukan penelitian,
peneliti terlebih dahulu mengajukan usulan proposal peneliti untuk mendapatkan
rekomendasi dari Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Ketua Program Studi S1
Keperawatan Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang. Setelah
mendapatkan persetujuan maka barulah melakukan penelitian dengan menekankan
masalah etika yang dibedakan menjadi beberapa prinsip sebagai berikut
(Nursalam, 2008):
1.
Prinsip Manfaat
a.
Bebas dari penderitaan
Penelitian harus dilaksanakan tanpa
mengakibatkan penderitaan kepada subjek, khususnya jika menggunakan tindakan
khusus.
b.
Bebas dari eksploitasi
Partisipasi subjek, harus dihindarkan
dari keadaan yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakini bahwa
partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan tidak akan
dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek dalam bentuk apapun.
c.
Risiko (benefit ratio)
Peneliti harus hati-hati,
mempertimbangkan resiko dan keuntungan yang akan berakibat kepada subjek pada
setiap tindakan.
2.
Prinsip Menghargai Hak Asasi Manusia
a.
Hak untuk ikut atau tidak ikut menjadi
responden
Subjek harus diperlakukan secara
manusiawi. Subjek mempunyai hak memutuskan apakah mereka bersedia menjadi
subjek ataupun tidak, tanpa adanya sanksi apapun atau akan berakibat terhadap
dirinya.
b.
Hak untuk mendapat jaminan dari
perlakuan yang diberikan
Seorang peneliti harus memberikan
penjelasan secara rinci serta bertanggungjawab jika ada sesuatu yang terjadi
pada subjek.
c.
Informed
consent
Subjek harus mendapatkan informasi
secara lengkap tentang tujuan penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak
untuk bebas berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed
consent juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya akan
dipergunakan untuk pengembangan ilmu.
3.
Prinsip Keadilan
a.
Hak untuk mendapatkan pengobatan yang
adil
Subjek harus diperlakukan yang adil baik
sebelum, selama dan sesudah keikutsertaanya dalam penelitian tanpa adanya
diskriminasi apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari
penelitian.
b.
Hak dijaga kerahasiaanya
Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa
data yang diberikan harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity)
dan rahasia (confidentiality).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar